Penulis :Muh. Ismail Patahangi / Ketua Asosiasi Pemuda Peduli Kesehatan Kab Pinrang
OPINI,--Pamer dan obral janji dari para calon kepala daerah selalu ramai menghiasi masa kampanye pilkada. Di antara berbagai janji yang kerap kali ditonjolkan, isu kesehatan hampir selalu menjadi andalan, setara posisinya dengan aspek pendidikan, pertanian dan ekonomi kerakyatan yang merupakan indikator kesejahteraan rakyat.
Isu kesehatan masih sering dipersempit menjadi kualitas pelayanan kesehatan. Padahal, penanganan masalah kesehatan hanya bisa dilakukan secara multisektoral, tidak semata-mata tanggung jawab otoritas kesehatan. Kepuasan masyarakat atas kualitas layanan kesehatan selalu ditentukan pada upgrade infrastruktur pelayanan kesehatan sehingga program tersebut biasanya dijadikan pilihan pragmatis untuk mendulang suara oleh para kontestan calon kepala daerah.
Alih-alih membuat program yang strategis dan berkesinambungan, kampanye politik kandidat kepala dan wakil kepala daerah malah sering menonjolkan aspek transaksional dengan menjajakan layanan kesehatan gratis.
Namun dengan adanya program JKN yang berlaku di seluruh wilayah Indonesia, wacana layanan kesehatan gratis seharusnya tidak lagi menjadi materi utama dalam kampanye para calon kepala daerah. Derasnya arus informasi deawasa ini menjadikan masyarakat kian kritis sehingga para kandidat harus benar-benar menawarkan program berkualitas yang lebih inovatif dan variatif yang bisa menjawab tantangan masalah kesehatan dalam beberapa tahun ke depan.
Akan tetapi hal tersebut di atas tampaknya masih sangat minim dipahami oleh sebagian calon kepala daerah. Ada beberapa diantara calon justru berlomba menjanjikan peningkatan kualitas layanan kesehatan JKN yang dinilai sebagian masyarakat masih mengecewakan. Program dokter keliling, Bagi-bagi KIS, puskesmas 24 jam, pembangunan rumah sakit di tiap kecamatan dan lain sebagainya, dijanjikan sebagai bentuk upgrade dari pelayanan JKN yang sudah ada. Meskipun tetap bermanfaat apabila dilaksanakan, berbagai literatur kajian membuktikan program-program jenis tersebut tidak cost effective dalam menyelesaikan akar masalah dan cenderung hanya mengutamakan aspek popularitas gagasan.
Kondisi ini dapat berujung pada 2 kesimpulan, apakah para calon tersebut kurang memahami pembangunan sektor kesehatan, ataukah calon tersebut kurang peduli terhadap pembangunan kesehatan dan hanya menggunakannya sebagai komoditas politik di masa kampanye.
Melalui momentum pilkada serentak kali ini sebaiknya tidak digunakan calon kepala daerah untuk berkampanye secara tradisional dengan menjual tanaga dan pelayanan kesehatan sebagai komoditas penarik suara.
Keberadaan program JKN yang telah memberikan akses pelayanan kesehatan dasar, mengharuskan para calon mampu mensintesis program yang lebih esensial untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Nama dan bentuk program yang inovatif mungkin mampu menyedot perhatian masyarakat pada masa kampanye, tetapi tidak cukup untuk menyelesaikan masalah yang ada jika sasaran programnya tidak jelas.
Semoga Pilkada kali ini mendorong lahirnya kepala daerah yang benar-benar peduli terhadap kesehatan rakyatnya.(*)